Amanat Reformasi Jangan Dikhianati Karena Kepentingan Oligarki

By Agung Nugroho 22 Feb 2025, 20:01:22 WIB Opini
Amanat Reformasi Jangan Dikhianati Karena Kepentingan Oligarki

Keterangan Gambar : Ivan Panusunan, Direktur Eksekutif MIGA


Oleh : Ivan Panusunan, Direktur Eksekutif Make Indonesia Great Again (MIGA).

megapolitanpos.com. JAKARTA- Menempatkan kembali tentara atau polisi di posisi-posisi strategis pada kedudukan jabatan pemerintahan sipil merupakan sebuah upaya memaksakan kembali dwifungsi TNI-POLRI (ABRI) di lembar kekuasaan yang sedang berjalan ini.

Mendudukkan TNI aktif di jabatan sipil pemerintahan sebenarnya sudah pasal 47 ayat 1 UU TNI yang menjelaskan bahwa prajurit dapat menduduki jabatan sipil setelah menurunkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dimana hal itu sebelumnya sudah diatur dalam UU TNI No.34 tahun 2004 yang mengatur tentang tugas TNI dalam menjaga perdamaian regional dan internasional.

Baca Lainnya :

Begitu pun juga dengan mendudukkan polisi aktif jelas menabrak UU Polri pasal 28 ayat 3 yang menjelaskan bahwa anggota polisi dapat menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Mendudukkan atau menempatkan anggota TNI & Polri aktif dalam jabatan strategis sipil pada instansi pemerintahan, sesungguhnya telah terjadi amanat yang menuntut dihapuskannya dwifungsi reformasi TNI-POLRI (ABRI) dalam tatanan konstitusi Republik ini. 

Reformasi TNI sebenarnya sudah dimulai pada pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), yang mana reformasi TNI itu merupakan upaya penghapusan dwifungsi ABRI untuk mengembalikan peran TNI pada fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga pertahanan negara.

Beberapa waktu belakangan ini, Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir mengangkat kepala Bulog yang merupakan seorang aktif TNI.

Tidak hanya kepala Bulog saja yang menempatkan seorang TNI aktif di struktur lembaga pemerintahan oleh Presiden Prabowo. Berbagai posisi jabatan di dalam struktur lembaga pemerintahan Prabowo yang tidak ada kaitannya dengan fungsi pokok TNI pun diisi oleh prajurit aktif seperti Sekretaris Kabinet, Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian dan Badan Penyelanggara Haji.

Tentunya terlihat anggota TNI & Polri aktif menduduki jabatan sipil, sudah melihat restu dari Presiden sebagai pemangku kekuasaan tertinggi negara.

Terlepas dari alasan yang sifatnya untuk kepentingan rakyat (katanya), tentunya mendudukan TNI & Polri aktif pada jabatan sipil pemerintahan jelas mencederai nilai-nilai demokrasi yang selama diupayakan untuk tetap berdiri sebagaimana ketentuan undang-undang yang berlaku di negara ini.

Pelaksanaan kegiatan yang bernama Retret kepada seluruh menteri beserta wakilnya, kepala-kepala badan lembaga negara, (serta yang terkini) seluruh kepala daerah baru di Akademi Militer, dapat diartikan sebagai bayang-bayang kebangkitan kembali militerisme di pola pemerintahan Prabowo ini.

Ketika seluruh peserta Retret menggunakan seragam ala militer & masuk kelas untuk diberi materi wacana pemerintahan pusat, hal ini juga kemudian dapat diartikan sebagai bentuk upaya mengembalikan sentralisasi kekuasaan pada pola pemerintahan ini.

Kemunculan mantan Presiden Jokowi di media publik yang memberi statement bahwa seluruh kepala daerah harus mengikuti kegiatan Retret di Akademi Militer, dan statement yang dinyatakan oleh dirinya sendiri ditengah perintah ketua umum partai PDI-P Megawati Soekarnoputri yang meminta seluruh kepala daerah dari partainya untuk ikut serta pada kegiatan Retret di Magelang, dimana perintah Megawati Soekarnoputri itu disebabkan karena jarangnya sekjen partai PDI-P Hasto Kristiyanto oleh KPK di hari pelantikan seluruh kepala daerah oleh Presiden Prabowo di istana negara, sebenarnya (Jokowi) wajib membicarakan kapasitasnya dalam memberi pernyataan itu di media publik.

Sebagai orang yang bukan lagi bagian dari pemerintahan berjalan, Jokowi dapat diartikan tengah mengatur jalannya pemerintahan Prabowo setelah sebelumnya ia dipecat dari anggota partai PDI-P, ditambah lagi wakil presiden Prabowo adalah anak kandungnya Jokowi sendiri, yang mana keberadaan anak Jokowi, Gibran Rakabuming dihasilkan dari praktik kutukan jahat pada pilpres 2024 kemarin.

Jokowi sendiri pun tak lepas dari beberapa dugaan kasus korupsi & pelanggaran HAM yang terjadi di saat pemerintahannya.

Dan sepertinya Jokowi memang membutuhkan perlindungan dari Presiden Prabowo serta pemerintahannya. 

Naiknya Prabowo menjadi Presiden saat ini tidak terlepas dari kuatnya peran Jokowi saat berkuasa. Dan tentu jasa Jokowi dalam mendudukkan Prabowo menjadi orang nomor satu di negeri ini, dapat dijadikan sebuah pamrih oleh Jokowi terhadap Prabowo yang perlahan mulai mengembalikan peran militer di pemerintahannya.

Hal ini tentu menjadi pertanda tidak baik bagi kesehatan demokrasi di negeri ini. Karena jika gejala-gejala perusakan demokrasi ini tetap dibiarkan terjadi, maka kegelapan moral bangsa terhadap masa depan negeri akan menjadi nyata di kemudian hari.

Presiden Prabowo harus tetap menjaga amanat reformasi '98 yang menolak adanya dwifungsi TNI-POLRI (ABRI), serta menuntaskan kasus hukum siapa pun yang dianggap melakukan tindakan yang merugikan negara & rakyat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negeri ini.




  • Amanat Reformasi Jangan Dikhianati Karena Kepentingan Oligarki

    🕔20:01:22, 22 Feb 2025
  • Sosok yang Murah Senyum, Selamat Jalan Herry Barus

    🕔03:57:55, 10 Agu 2024
  • Ketum PB. Formula: Kenapa Bangsa Arab Diam Melihat Pembantaian oleh Zionis Israel Terhadap Rakyat Palestina

    🕔14:10:52, 15 Apr 2024
  • Ada Pembacaan Ratib dan Tausiyah Politik di Kalibata Sebelum Konvoi Menuju JIS

    🕔06:09:12, 09 Feb 2024
  • Prabowo Dan Politik Kebohongan.

    🕔06:34:21, 30 Des 2023
  • 31°CHujan sedangJakarta - Hari Ini

    Minggu

    26°C

    Senin

    31°C

    Selasa

    30°C

    Rabu

    26°C

    Kamis

    31°C

    Jum'at

    26°C


    Kanan - Iklan Sidebar

    Temukan juga kami di

    Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.