Huma Betang Sebagai Benteng Terhadap Terorisme

By Ywid MP 30 Des 2021, 09:22:51 WIB Opini
Huma Betang Sebagai Benteng Terhadap Terorisme

MEGAPOLITANPOS.COM (Palangkaraya) - Tiga tersangka terorisme diduga dari jaringan kelompok Anshorud Daulah di tangkap di Sampit dan Palangkaraya pada tanggal 21 Desember 2021. Ketiga tersangka diduga akan melakukan aksi teror di Kalimantan Tengah pada akhir tahun 2021. Hal ini cukup mengejutkan, mengingat Kalimantan Tengah selama ini relatif aman dari ancaman sebagai target terorisme. Catatan sebelumnya menunjukkan bahwa penangkapan tersangka terorisme di Kalteng hanya sebatas simpatisan dan tersangka terorisme yang melarikan diri dan bersembunyi di wilayah Kalteng. Perkembangan terbaru ini menunjukkan bahwa falsafah Huma Betang (yang berarti rumah panjang dalam Bahasa Dayak, juga merupakan Rumah Adat Dayak) melalui nilai-nilai hapahari, handep, belom bahadat, dan hapakat kula masih relevan sebagai pemersatu masyarakat Kalteng. Namun di sisi lain juga memberikan keleluasaan bagi aktor-aktor terorisme dari luar wilayah untuk melakukan persiapan rencana aksi teror maupun bersembunyi di wilayah Kalteng. Dari radikal hingga menjadi teroris radikal, intoleran, dan aksi teror adalah suatu kesatuan utuh dalam konsep terorisme, sebagaimana mindset, attitude, dan, action adalah suatu kesatuan utuh dari konsep perilaku. Daya tangkal terorisme masyarakat Kalteng terhadap terorisme membutuhkan sensitivitas sosiologis untuk mengidentifikasi mindset radikal dan sikap intoleran yang menjadi tahapan awal sebelum bermanifestasi menjadi aksi teror. Mindset radikal Radikal berasal dari kata radix yang artinya pemahaman yang mengakar kuat. Tidak selamanya radikal bermakna negatif, namun kaitan radikalisme dengan terorisme menyebabkan kita cenderung antipati terhadap segala sesuatu yang radikal. Seorang pelajar atau mahasiswa sudah sepantasnya radikal dalam menekuni ilmu pengetahuan, demikian pula seorang penganut agama yang baik semestinya radikal dalam menjalankan perintah atau syariat agamanya. Dalam hal ini radikal merupakan sesuatu yang bersifat positif. Lantas, radikal seperti apa yang sebenarnya menjadi masalah? Radikal dalam arti negatif adalah pemahaman yang mengakar sedemikian kuatnya dan diiringi keyakinan bahwa semua orang harus tunduk pada pemahaman yang sama dengan yang dianutnya. Dengan kata lain, pemahaman yang mengakar ini membentuk dikotomi bipolar yang menciptakan kategori Us (kami) dan Them (mereka). Sikap Intoleran Intoleransi sesungguhnya merupakan sikap yang dilahirkan oleh mindset radikal dalam pengertian yang negatif. Kategori “kami” dan “mereka” yang terpisahkan jauh akan melahirkan dua jenis resistensi. Resistensi yang pertama adalah sikap menjaga jarak dan menjauhkan diri. Membatasi interaksi sebisa mungkin dengan pemahaman bahwa mereka adalah mereka, dan kami adalah kami. Berbeda dengan wujud resistensi pertama, resistensi yang ke-dua bersifat lebih frontal. Penolakan, larangan, hingga intimidasi dan persekusi menjadi lebih dominan. Interaksi dilangsungkan dengan pemahaman bahwa “kami adalah benar” dan “mereka adalah salah”, sehingga “mereka” harus menuruti “kami”, atau “mereka” harus menyingkir. Bentuk resistensi ke-dua ini merupakan indikator potensi adanya aksi teror, atau dengan kata lain, pintu masuk sebelum menjadi teroris. Aksi Teror Aksi teror dalam terorisme tidak selalu identik dengan agama, seperti ditegaskan berbagai tokoh maupun akademisi “teorisme tidak memiliki agama!” Pola-pola pengidentikkan agama dengan terorisme harus dihindari karena labelling berkaitan erat dengan self fulfilling prophecy, orang (atau kelompok orang) cenderung menyesuaikan diri dengan label yang disematkan pada dirinya (mereka). Meskipun demikian, harus diakui bahwa setelah kita memahami keterkaitan mindset, attitude, dan action, kita secara obyektif harus mengakui bahwa hal-hal yang berkaitan dengan identitas dan jatidiri (SARA) melekat paling kuat dalam mindset (radikal). Teroris hanya dilahirkan dari radikalisme negatif yang sangat kuat membedakan “kami” dan “mereka”, tanpa ada kemungkinan irisan “kita” dalam aspek-aspek tertentu. Bukanlah agama, suku, etnisitas, maupun golongan yang menyebabkan intoleransi, melainkan bagaimana penafsiran atas agama, suku, etnisitas, dan golongan tersebutlah yang akan menentukan toleran atau tidak. Sikap intoleran yang yang mengedepankan penolakan, larangan, intimidasi, hingga persekusi jika memperoleh “arena” akan sangat mudah menjadi aksi kekerasan. Celakanya, hal ini dianggap sebagai “contoh teladan” (padahal contoh edan) dikarenakan adanya dukungan internal dari kelompok “kami” dan pernyataan penghargaan yang mengelu-elukan pelaku. Menilik bagaimana konflik antar kelompok di luar negeri dapat berdampak pada situasi di dalam negeri tentunya akan sangat mudah dipahami melalui konsep “kita” dan “mereka”. Bagaimanapun tidak kenal, sekelompok orang di luar negeri akan sangat cepat dianggap sebagai bagian dari “kita”, bahkan hubungan tersebut dirasa lebih dekat dari hubungan dengan komunitas sekitar tempat tinggalnya, tempat berinteraksi sehari-hari. Konsekuensinya, semua lawan dari kelompok orang yang dianggap sebagai “kita”, adalah “mereka”, termasuk lingkungan sekitar yang tidak mendukungnya. Falsafah Huma Betang Hapahari Hapahari (persaudaraan dan kebersamaan) adalah nilai yang yang berlaku pada masyarakat Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah, bahwa setiap orang adalah pahari (saudara), serupa dengan kawanua, torang samua basodara, wong kito galo, dll. Hapahari bermakna bahwa sebagai sesama warga betang, semuanya adalah saudara yang harus dilindungi, dibantu bila ada kesulitan. “Sama keme (sama rasa), sama mangat (sama-sama senang), sama susah (sama-sama menderita). Melalui nilai hapahari, persaudaraan dan jiwa kebersamaan melahirkan interaksi yang harmonis antar sesama warga. Hal ini ditunjukkan dengan eratnya ikatan suatu keluarga yang jauh melebihi batas agama. Adalah hal yang biasa dalam satu ikatan keluarga di masyarakat asli Kalteng terdiri dari berbagai agama, bahkan mungkin lebih dari tiga agama yang berbeda dalam satu keluarga batih. Implementasi hapahari juga berlaku terhadap migran (pendatang) yang telah menerima kepercayaan dari masyarakat Kalteng, khususnya sebagai individu (pendatang dalam konteks perusahaan akan dibahas melalui nilai yang lain). Pendatang dianggap sebagai pahari, dan hal ini merupakan benteng lapis pertama terhadap aksi terorisme yang menargetkan masyarakat Kalteng. Selalu ada reaksi terhadap aksi, perasaan diterima sebagai pahari sedikit banyak melonggarkan kekakuan “kami” dan mengembangkan konsep “kita” bagi para migran. Handep Semangat tolong-menolong yang tinggi dalam komunitas betang dinampakkan melalui handep. Handep diterapkan dalam setiap segi kehidupan yang tidak bisa dikerjakan sendiri. Dalam handep sesama warga betang saling membantu pekerjaan warga betang yang lain (tolong-menolong, gotong-royong). Pembukaan ladang, membangun rumah, membuka jalan, hingga acara adat seperti pernikahan merupakan konkritisasi dari handep. Handep dilaksanakan dengan hati yang bersih dan penuh kasih (ikhlas), jauh dari kebencian maupun kedengkian. Melalui handep, pekerjaan yang berat menjadi ringan ketika dikerjakan bersama dengan sukacita dan ketulusan. Ketika ketulusan dalam handep tidak diperhatikan oleh seseorang (pamrih), hal tersebut akan menyebabkan dirinya dianggap sebagai orang yang egois dan tidak hidup bersama sebagai warga betang. Ketika kelompok migran (pendatang) datang dan memperoleh kepercayaan masyarakat Kalteng, maka sambutan dan bantuan warga betang yang tulus ketika migran memulai kehidupannya merupakan faktor yang semakin memperkuat konsep “kita” setelah sebelumnya diinisiasi oleh nilai hapahari. Belom Bahadat Belom bahadat (hidup beradab dan beretika) dipahami oleh komunitas betang sebagai aturan atau tata krama yang mengatur kehidupan bersama, yaitu mengakui dan menghargai adat yang berlaku dalam wilayah komunitas adat yang bersangkutan. Dalam huma betang, setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Pada masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai kelompok suku (7 kelompok suku, 18 anak suku sedatuk, dan 405 suku kekeluargaan), hukum adat yang berlaku tidak sepenuhnya sama, sehingga hukum adat yang mengatur adalah hukum adat dengan prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Meskipun secara umum hukum adat hampir sama, tidak jarang terjadi perselisihan mengenai hal tertentu yang harus diselesaikan dengan menerapkan nilai ke-4 yang akan dijelaskan kemudian (hapakat kula). Hal ini juga berlaku bagi para migran, meskipun bersifat relatif karena hukum adat dengan kelompok migran seringkali terlalu berbeda. Hapakat Kula Hapakat kula (saling bermufakat) merupakan ciri khas kehidupan para penghuni betang. Hapakat kula memiliki kesamaan makna dengan hatamuei lingunalata, yaitu saling kenal-mengenal serta bertukar pikiran dan pengalaman. Dalam beberapa hal, hapakat kula juga dapat menjadi solusi ketika sesuatu hal tidak terakomodir atau memperoleh solusi dari nilai-nilai yang lain, seperti halnya konflik lahan dengan perusahaan, atau permasalahan hukum adat yang terlalu berbeda antara masyarakat betang dan migran. Melalui hapakat kula, permasalahan diutamakan diselesaikan melalui musyawarat mufakat. Tantangan masa depan Falsafah huma betang bagi masyarakat Kalteng sejatinya seperti “Pancasila bagi Indonesia”. Menilik berbagai peristiwa penangkapan tersangka terorisme di Kalteng yang umumnya merupakan masyarakat dari luar Kalteng, nilai-nilai dalam falsafah huma betang sampai saat ini terbukti merupakan lapis pengaman terpaparnya masyarakat Kalteng dari radikalisme. Walaupun demikian, harus diakui bahwa falsafah huma betang yang bersifat terbuka dan sangat toleran dapat menjadi kerentanan bagi masuknya orang dan kelompok orang dengan paham radikal untuk menyusup dan berbaur dengan masyarakat Kalteng, termasuk menjadi escape haven bagi pelarian tersangka terorisme. Tantangan berikutnya adalah ancaman terhadap falsafah huma betang itu sendiri. Menguatnya etnisitas pasca perang dunia ke-2 dan lahirnya era post-truth sebagai anak kandung globalisasi telah mengikis nilai-nilai huma betang dan sikap individualisme yang mengurangi akses lingkungan masyarakat untuk mengamati perubahan sikap dan perilaku anggotanya. Pelembagaan pranata adat menjadi Ormas seringkali justru bersifat politis pragmatis dan semakin menjauh dari nilai-nilai falsafah huma betang itu sendiri. Pelajaran terpenting yang harus kita petik adalah, bagaimana kita menjaga sensivitas sosiologis kita dalam melihat perubahan sikap dan perilaku intoleran orang-orang disekitar kita, untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Bumi Tambun Bungai yang kita cintai dan kita banggakan ini. (Han’s Itta Papahit Program Doktoral STIK-PTIK Hans.tindan@gmail.com)




  • Amanat Reformasi Jangan Dikhianati Karena Kepentingan Oligarki

    🕔20:01:22, 22 Feb 2025
  • Sosok yang Murah Senyum, Selamat Jalan Herry Barus

    🕔03:57:55, 10 Agu 2024
  • Ketum PB. Formula: Kenapa Bangsa Arab Diam Melihat Pembantaian oleh Zionis Israel Terhadap Rakyat Palestina

    🕔14:10:52, 15 Apr 2024
  • Ada Pembacaan Ratib dan Tausiyah Politik di Kalibata Sebelum Konvoi Menuju JIS

    🕔06:09:12, 09 Feb 2024
  • Prabowo Dan Politik Kebohongan.

    🕔06:34:21, 30 Des 2023